RISIKO EPILEPSI PADA ANAK AUTISME


Salah satu keadaan yang sering dihubungkan dengan autisme adalah epilepsi. Penyandang autisme memiliki risiko lebih besar untuk mengalami epilepsi dibandingkan dengan anak yang tidak autisme.

Keterlibatan gangguan otak pada autisme telah dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap anatomi dan struktur otak, pemeriksaan terhadap bahan kimia di otak dan berbagai pemeriksaan pencitraan (imaging). Namun tak ada satupun yang dianggap sebagai penyebab pasti dari autisme.

"Sebanyak 40 Peratus anak penyandang autisme juga mengalami epilepsi, sedangkan risiko pada anak bukan autisme hanya sekitar 1-2 peratus saja. Sebaliknya anak yang mengalami epilepsi tertentu sering disertai dengan gejala autisme," ujar Dr Hardiono D Pusponegoro, SpA(K) dalam acara Expo Peduli Autisme 2010, di Gedung Sucofindo, Jakarta,
Dr Hardiono menambahkan kejang adalah perubahan sementara dan tidak terkontrol dari kesadaran, perilaku, aktiviti motorik, sensasi atau fungsi otonomnya. Hal ini disebabkan oleh aktiviti listrik sel saraf di otak yang berlebihan. Jika kejang terjadi lebih dari 15 menit dianggap sebagai kejang lama, sedangkan jika berlangsung lebih dari 30 minit disebut sebagai status epileptikus.

Anak dengan beberapa keadaan khusus misalnya tuberous sclerosis, rubella congenital, sindrom Down, sindrom Landau Kleffner dan electrical status epilepticus during slow-sleep dapat mengalami autisme dan epilepsi secara bersama-sama.

Seorang anak yang mengalai kejang tanpa demam untuk pertama kalinya disebut sebagai first unprovoked seizure. Sebanyak 20 peratus anak yang mengalami kejang ini akan mengalami kejang kembali. Jika sudah dua kali mengalami kejang tanpa sebab maka disebut sebagai epilepsi. Epilepsi boleh terlihat sebagai bangkitan kejang umum seluruh tubuh atau hanya satu sisi (parsial) tubuh saja.

Bila seorang anak mengalami kejang tanpa sebab dua kali atau lebih, maka biasanya doktor akan melakukan pemeriksaan electroencephalography (EEG). Berdasarkan pemeriksaan ini dapat diketahui aktiviti listrik sel saraf otak. Karena pemeriksaan EEG dilakukan saat anak sedang tidak terkena serangan, maka sebanyak 10-20 persen anak menunjukkan hasil EEG yang normal.

"Pemeriksaan EEG tidak dilakukan secara rutin pada anak penyandang autisme. EEG hanya bermanfaat jika anak mengalami epilepsi atau kemunduran (regresi). Dan juga tidak ada bukti bahawa kelainan EEG tanpa kejang boleh memperburuk gejala autisme," tambahnya.

Suatu penelitian jangka panjang dilakukan terhadap 108 anak penyandang autisme, didapatkan pada usia 17-40 tahun sekitar 38 peratus mengalami epilepsi. Epilepsi lebih sering ditemui pada penyandang autisme yang disebabkan oleh penyebab medis jelas, serta kejang pertama paling sering terjadi saat usia 3-7 tahun.

"Serangan yang paling sering dialami oleh anak autis adalah absence, yaitu serangan bengong secara tiba-tiba dan terjadi belasan kali dalam sehari. Kondisi ini mudah untuk diubati," ujar doktor.

Dr Hardiono menuturkan anak autis banyak yang menunjukkan perilaku hiperaktif dan gangguan perilaku lainnya, maka tidak semua ubat boleh digunakan untuk anak penyandang autis dan harus memperhatikan kemungkinan efek samping dari pengubatan yang diberikan. Kerana beberapa ubat sering menyebabkan anak bertambah hiperaktif dan masalah perilaku lainnya.

"Tapi satu hal yang penting untuk diingat adalah jangan sekali-kali menghentikan ubat epilepsi secara mendadak atau sendiri, kerana dapat menyebabkan kejang yang lebih hebat dan sulit untuk diatasi," tambahnya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Penaja

insan yang cintakan ilmu

Pengikut